Ribuan Wanita Berkebaya Meriahkan Hari Ibu Dan Hari Jadi Purbalingga

PURBALINGGA – Dalam rangka memperingati hari ibu dan hari Jadi Purbalingga, Pemerintah Kabupaten Purbalinagga menggelar kegiatan Purbalingga Berkebaya yang diikuti oleh 1625 wanita-wanita tangguh Purbalingga.

“Purbalingga Berkebaya ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ibu yang ke-96 sekaligus dalam rangka memperingati hari jadi kabupaten Purbalingga yang ke-194,” kata Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi di pendopo Dipokusumo, Minggu (22/12/2024).

Bupati mengajak kepada seluruh wanita-wanita Kabupaten Purbalingga untuk terus nguri-uri (melestarikan -red) budaya khususnya busana tradisional.

“Kebaya yang saat ini kita gunakan merupakan salah satu busana tradisional yang mencerminkan identitas kita sebagai wanita Indonesia khususnya wanita Jawa dan juga wanita Kabupaten Purbalingga,” tambahnya.

Bupati Tiwi berharap melalui kesempatan Purbalingga Berkebaya akan semakin meningkatkan rasa cinta terhadap busana tradisional terutama kebaya, dan perempuan-perempuan Kabupaten Purbalingga dapat terus bersemangat memberikan kontribusi terbaiknya untuk pembangunan bangsa dan Negara.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Purbalingga Herni Sulasti dalam sambutannya mengatakan bahwa Unesco telah menetapkan kebaya sebagai salah satu warisan budaya tak benda.

“Kebaya menjadi salah satu warisan budaya tak benda diajukan oleh Indonesia bersama dengan Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Thailand,” tuturnya.

Herni berharap agar kegiatan parade Purbalingga berkebaya tahun 2024 ini turut membawa makna bagi upaya pelestarian kebaya sebagai bagian dari identitas perempuan Indonesia.

“Untuk itu kami mengucapkan terima kasih dan salam hormat kepada seluruh kaum perempuan Purbalingga yang telah berkenan hadir pada kegiatan ini dan dengan bangga berkumpul bersama mengenakan kebaya Nusantara,” pungkasnya.

 

Festival Gunung Slamet Dinobatkan Jadi Top 10 Event Jawa Tengah 2025

PURBALINGGA INFO – Kabupaten Purbalingga kembali menunjukkan eksistensinya sebagai destinasi pariwisata unggulan di Jawa Tengah. Salah satu buktinya adalah keberhasilan Festival Gunung Slamet (FGS) masuk dalam Top 10 Event Jawa Tengah 2025.

Festival tahunan yang digelar di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, ini juga telah resmi menjadi bagian dari Jawa Tengah Calendar of Event 2025, yang diluncurkan beberapa waktu lalu di Radjawali Semarang Culture Centre.

Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Purbalingga, R. Budi Setyawan, menyampaikan rasa bangganya atas pencapaian ini.

“Festival Gunung Slamet tahun 2025 merupakan event yang digelar untuk kedelapan kalinya. Bahkan, pada tahun 2024, FGS telah masuk dalam kalender nasional Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai bagian dari Karisma Event Nusantara (KEN),” ungkapnya.

Budi menambahkan bahwa pencapaian ini merupakan bentuk apresiasi atas kerja keras penyelenggara event yang telah berkontribusi dalam meningkatkan kunjungan wisatawan ke provinsi Jawa Tengah.

“FGS menjadi event ikonik yang berhasil menarik perhatian wisatawan dengan keunikannya yang mengangkat budaya dan tradisi lokal,” katanya.

Festival ini memiliki daya tarik tersendiri melalui tradisi pengambilan air dari mata air (tuk) Sikopiah menggunakan bambu (lodong) yang melambangkan kesuburan lereng Gunung Slamet, serta tradisi makan nasi 3G (Gandul, Gundil, Gereh), yang menjadi simbol solidaritas masyarakat lereng Gunung Slamet saat Gunung Slamet berstatus siaga.

Selain FGS, sembilan event lain yang masuk dalam Top 10 Event Jawa Tengah 2025 adalah Solo Menari, Grebeg Sudiro, Solo Keroncong Festival, Java Baloon Atraction, Festival Arak-arakan Cheng Hoo, Dieng Culture Festival, Moroborobudur, Festival Kota Lama dan International Mask Festival.

Meski demikian, Budi berharap Purbalingga tidak hanya dikenal melalui Festival Gunung Slamet saja.

“Di Purbalingga, sebenarnya sudah ada beberapa event yang cukup menarik dan layak naik kelas menjadi event regional bahkan nasional. Misalnya Festival Dolanan Anak Selakambang Kaligondang, Tanalum Culture Festival di Desa Tanalum Rembang, Festival Congot di Desa Kedungbenda, dan Festival Kopi,” tuturnya.

Keberhasilan Festival Gunung Slamet menegaskan posisinya sebagai salah satu event andalan Jawa Tengah. Selain memperkenalkan budaya lokal, event ini juga memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat setempat, sekaligus memperkuat daya tarik pariwisata Kabupaten Purbalingga. (dhs/Kominfo, Sumber: Dinporapar Purbalingga)

Beraneka ragam kesenian meriahkan Pawai Budaya Hari Jadi Purbalingga-194

PURBALINGGA – Dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Purbalingga ke-194, Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) menggelar Pawai Budaya yang diikuti oleh 70 kontingen.

“Kegiatan pawai budaya ini merupakan salah satu tradisi yang kita laksanakan setiap memperingati Hari Jadi Kabupaten Purbalingga di bulan Desember,” ucap Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi, Sabtu (28/12/2024).

Bupati Tiwi menambahkan, pawai yang diikuti oleh Forkopimda, OPD, organisasi wanita dan sosial masyarakat, instansi vertikal, BUMD dan BUMN, sekolah, kecamatan, hingga Korwil Dindikbud ini mengusung tema “Purbalingga Mandiri, Maju, dan Sejahtera yang Berbudaya”.

“Peserta pawai ini menampilkan kesenian-kesenian Kabupaten Purbalingga yang beraneka ragam dari mulai tek tek, Kontekan lesung, kemudian ada juga potensi-potensi kesenian yang lain,” tambahnya.

Hal ini menurut Bupati Tiwi adalah sebagai salah satu bentuk upaya Pemerintah Kabupaten Purbalingga dan juga masyarakat dalam melestarikan budaya, khususnya budaya lokal.

“Mudah-mudahan dengan begini rasa cinta kita sebagai masyarakat Purbalingga dan kebudayaan lokalnya akan semakin besar, dan kesenian lokal ini ke depan bisa semakin berkembang,” harapnya.

Setiap kontingen pawai beranggotakan 25 hingga 60 orang yang menampilkan pertunjukan dari GOR Goentoer Darjono, melewati Polsek Kota, Taman Usman Janatin, pertigaan toko pojok, hingga Alun-Alun Purbalingga.

Bupati Purbalingga tampil cantik dengan Pakaian Adat Sulawesi Selatan menunggu peserta bersama dengan jajaran Forkopimda dan dewan juri di Alun-Alun Purbalingga sisi selatan.

“Setiap kontingen diberi waktu maksimal tiga menit untuk display di depan panggung kehormatan,” ungkap Pembawa Acara Trisnanto Budidoyo. (an/komin)

Anak-anak Belajar Sejarah di MTL Jenderal Soedirman

SobatInspirasi, Tak biasanya, Monumen Tempat Lahir (MTL) Jenderal Soedirman begitu ramainya dari celoteh anak-anak SD, Sabtu (28/1/2023). Mereka terlihat antusias memperhatikan gurunya menerangkan kepahlawanan Jenderal Soedirman.

Lindawati Guru SDN 1 Langkap Kecamatan Kertanegara mengatakan kegiatan luar sekolah ini bertujuan untuk mengenalkan sejarah kepada anak-anak. Yakni terkait patriotisme dan nasionalisme kepada bangsa dan negara Indonesia.

” Mereka sangat senang dan gembira, dikarenakan mereka juga belum pernah ke sini. Ditengah perjalanan mereka pun sangat menikmati nya. Pembelajaran luar ini diikuti oleh 50 an siswa dari kelas 1 sampai kelas 4,” ujar Linda.

Sedangkan Eti Siswati Guru kelas 5 SDN 1 Sinduraja mengatakan  selain mengenalkan sejarah juga mengenalkan seni rupa terutama seni patung, yakni fungsi patung sebagai monumen. Mereka pun  belum pernah memahami MTL Jenderal Soedirman, dikarenakan belum pernah mengunjungi monumen ini.

” Selain refreshing, pembelajaran ini juga berperan untuk menambah pengetahuan para anak didik,” pungkasnya. (dy)

Menguak Tabir Misteri Kadipaten Mesir

SobatInspirasi-Historia Perwira kembali menggelar diskusi sejarah. Pada edisi ke 3 kali ini, tema yang diangkat adalah “”Menguak Tabir Misteri Kadipaten Mesir” Purbalingga bertempat di Kedai Pojok, Minggu (05/06).

Acara menghadirkan pemantik Gunanto Eko Saputro (Penulis Sejarah), Indaru Setyo Nurprojo (Dosen Ilmu Politik Unsoed) dan Agus Sukoco (Budayawan) dengan moderator Muhammad Kholik (Founder Griya Petualang Indonesia). Sekitar 50 orang pemerhati sejarah Purbalingga mengikuti acara tersebut.

“Tak banyak yang tahu kalau di Purbalingga pernah eksis sebuah wilayah bernama Kadipaten Mesir. Ada arsip peta yang tersimpan di National Arsip Belanda membuka selapis tabir misteri kadipaten itu. Ini yang menjadi topik utama diskusi kali ini,” ujar Gunanto dalam diskusi.

Peta yang dimaksud oleh Gunanto bertajuk Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier atau Peta Benteng Mesir Tampak dari Atas dengan tarikh 16 Desember 1681. Peta itu menceritakan spesifikasi Benteng Mesir dan peristiwa penyerangan oleh gabungan Tentara VOC dan Mataram dengan pimpinan bernama Komandan Couper dan Tumenggung Soewanata. Sementara, orang nomor 1 di Mesir dipanggil dengan sebutan Raja Namrod.

Benteng Mesir mempunyai pagar luar yang disebut Pager Banowatty sepanjang 1021 roeden dengan gerbangnya sepanjang 189 roeden. Kedua ada Madjapahit tinggi 13 kaki. Benteng Mesir digambarkan sangat kuat dengan komponen utama balok kayu besar, di dalamnya ada pemukiman, kandang kuda dan gudang perbekalan. Pemukiman utama berada di sebelah timur Sungai Klawing yang untuk mencapainya dari Bannowatty harus melewati jembatan kayu selebar 18 roeden. (1 roeden = 3,367 meter). Kemudian ada nama tempat lainya, yaitu, Bukit Onje Luhur, Selinga dan Tambakbaja.

“Saya telusuri nama-nama tempat yang ada di dalam peta. Missier atau Mesir, sekarang menjadi nama pedukuhan di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Banowatty atau Banowati juga. Majapahit, kini juga nama pedukuhan di Desa Karangturi, dekat Onje. Selinga / Slinga merupakan yang masuk Kecamatan Kaligondang dan Tambakbaya nama padukuhan di Desa Patemon, juga sekitar Onje,” imbuh pria yang akrab dipanggil Om Igun itu.

Kenapa namanya Mesir dan pimpinannya disebut Namrud?

Gunanto menjelaskan berdasarkan tulisan Toto Endargo berjudul ‘Kadipaten Mesir di Onje’ (26 April 2017) dan artikel Prof. Sugeng Priyadi dalam Jurnal Humaniora Edisi 2 Juni 2006 berjudul ‘Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat di Pedesaan Purbalingga dan Banyumas’ serta cerita masyarakat setempat bahwa Mesir didirikan oleh cucu dari Adipati Onje II (Hanyakrapati) yang bernama Nur Alim. Ia merupakan anak dari Rara Surtikanti dengan Adipati Tegal. Saat sudah dewasa, Ia kembali ke Onje dan mendirikan kadipaten baru karena Onje sudah redup (silep) yang diberi nama Mesir.

Nur Alim memberikan nama Mesir karena dididik secara Islam dan banyak mendengar cerita-cerita negeri-negeri yang berada di Al-Quran. Mesir kemudian berkembang menjadi wilayah yang cukup disegani.

Sebagai penguasa keturunan Pajang, Nur Alim enggan tunduk terhadap Mataram dan Ia menolak untuk menghadap ke Susuhunan Amangkurat II selaku penguasa tertinggi di Tanah Jawa saat itu. Oleh karenanya, Ia dianggap penguasa yang sombong dan diberi julukan jelek, Namrud. “Jadi, Namrud adalah julukan bernada ejekan yang diberikan Mataram terhadap Nur Alim karena dianggap jumawa dengan tidak mau tunduk,” imbuh Gunanto.

Singkat kata, Mesir pun digempur pasukan gabungan VOC – Mataram dan berhasil dikalahkan. “Mesir dibumihanguskan yang ditandai dengan keterangan di Peta yang menyebutkan tempat di mana Namrud dibunuh dan kemudian dibakar berserta rumah dan bentengnya,” pungkasnya.

Hal itulah yang menurut Gunanto menjadi salah satu kemungkinan Mesir kemudian seolah hilang dari peradaban.

Dosen Ilmu Politik Unsoed Indaru Setyo Nurprojo yang hadir sebagai pemantik diskusi menyatakan keberadaan peta yang disampaikan Gunanto memberikan titik terang eksistensi Kadipaten Mesir yang selama ini kurang terdengar. Namun, Ia manambahkan sejarah biasanya ditulis oleh para pemenang. “Jadi perlu ada kajian lebih komprehensif untuk mengungkap sejarah Kadipaten Mesir agar jelas dan gamblang,” ujarnya.

Sementara Budayawan Agus Sukoco menambahkan cerita Kadipaten Mesir semakin menambah khazanah sejarah Purbalingga. Menurutnya, kawasan di Lereng Timur Gunung Slamet itu sejak dulu memiliki peradaban yang tua dan unggul. “Ada apa sampai pusat kekuasaan nasional saat itu harus memberikan perhatian begitu besar kepada wilayah yang cukup jauh, pasti ada sesuatu yang besar di sini,” katanya.

Ia berharap diskusi dan kajian sejarah tentang Purbalingga dan sekitarnya terus dilanjutkan. “Selama ini sejarah hanya berkutat yang besar-besar, misalkan Majapahit atau Sriwijaya, Demak, Mataram. Ini patut diapresiasi karena mengangkat sejarah lokal dan ternyata tidak kalah menarik,” ujarnya.

Kain Lawon Bonokeling, Wujud Kearifan Budaya Lokal

Sobat Inspirasi, ada yang menarik di keseharian ibu-ibu pada komunitas Bonokeling di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Ibu-ibu ini jika tidak sedang musim bertani adalah mereka membuat tenun untuk dibuat kain Lawon.

Kain Lawon adalah kain untuk membungkus jenazah keluarga besar Bonokeling yang meninggal dunia dan untuk dibuat selendang bagi ibu-ibu pada saat acara perlon atau acara adat. Jadi apabila ada keluarga besar Bonokeling yang meninggal dunia tidak menggunakan kain mori tetapi menggunakan kain lawon.

Untuk membuat kain Lawon ada beberapa tahap mulai dari mencampur benang lawon dengan nasi, menjemur, menggulung kain dan terakhir menenunnya. Benang lawon dilumuri dengan nasi agar keras sehingga jika di tenun lebih mudah.

Satu lembar kain lawon dibutuhkan waktu 3 hari sampai satu minggu untuk menyelesaikan proses menenun selembar kain. Selembar kain lawon di hargai sekitar Rp 150 ribu.

Kain Lawon

Permintaan kain lawon Bonokeling cukup tinggi karena bukan hanya keluarga besar Bonokeling di Desa Pekuncen saja yang membutuhkan, namun juga sebagian masyarakat Desa Gunungwetan dan keluarga besar Bonokeling di Kabupaten Cilacap yang tersebar antara lain di Kecamatan Kroya, Kecamatan Kesugihan dan Kecamatan Adipala.

Camat Jatilawang, Oka Yudistira P mengatakan apa yang dilakukan masyarakat desa Pekuncen merupakan sebuah kearifan lokal yang perlu kita jaga dan dilestarikan. Pelestarian budaya masyarakat diharapkan tidak punah sehingga anak-cucu kita mengetahui sejarah nenek moyangnya.

” Selain itu juga dengan tenun lawon ini juga dapat mengangkat ekonomi masyarakat. Kemudian jika budaya ini bisa kita angkat harapannya bisa mendatangkan wisatawan yang nantinya juga bisa menambah income bagi masyarakat,” katanya.

6 Bulan Ngamen, Buat Beli Alat Musik Tek-tek

Sobat Inspirasi, Ada 7 Pemuda Desa Tumanggal Kecamatan Pengadegan ngamen dari desa-ke desa, dari kota ke kota dari tanggapan rumah ke rumah hanya untuk menyalurkan hobinya dalam bermusik. Berawal dari tongkrongan dengan musik kentrung, kemudin melihat temen-temen musisi jalanan yang biasanya di perempatan jalan di kota Purbalingga, kemudian timbul ide untuk membuat grup tek-tek.

Grup ini digawangi oleh Hendarawan sebagai penabuh Bas, Toni, Rudi, OmTegar, Pak Wisnu, Tanto, dan Adi. Mereka berlatih seminggu 3 kali. Awal membeli hanya angklung 24 nada, kemudian beralih ke gambang, bas, selo dan tribox. Pembelian alat merupakan hasil dari ngamen selama 6 bulan, yang dikumpulkan yang akhirnya terkumpul sekitar 7 jutaan sehingga sekarang lengkap satu set musik tek-tek.

Menurut Hendrawan untuk ngamen bukan disatu tempat tapi muter, kadang juga menerima tanggapan dari masyarakat untuk hiburan seperti hajatan dan kegiatan lainnya. Satu kali ngamen satu hari tak tentu namun jika dirata-rata bisa sampai 500-600 ribu. Sedangkan untuk tanggapan satu jamnya dipatok harga 200 ribu perjam.

Seorang anak kecil sedang memberikan uangnya

Untuk membawa alat-alat musik yang begitu banyak mereka hanya mengandalkan sepeda motor dengan cara berboncengan. Alat dikemas sedemikian rupa agar tidak repot diperjalanan. Dan ngamennya memang di pastikan malam hari dikarenakan siang harinya harus bekerja dan ada yang masih sekolah.

Grup yang enam bulan lalu baru terbentuk ini dibetrikan nama Wulung Sari, hal ini karena alat harmoninya  (angklung dan gambang) terbuat dari bambu wulung dan makna sari-nya diharapkan bisa menjadi harum (terkenal) sehingga grup ini bisa meningkatkan karirnya di bidang permusikan tradisional khususnya musik tek-tek.

Sukses selalu, semoga hasil ngamennya bertambah dan masyarakat selalu terhibur. Amin 3x

#KisahInspiratif #6Bulan #Ngamen #MusikTek-tek #MusikJalanan #Wulingsari #Tumanggal #Pengadegan #Purbalingga

RSS
Follow by Email
WhatsApp